Saya nggak tahu apa yang ada di benak orang-orang yang mikir kalau jaman Soeharto itu lebih enak daripada jaman sekarang, di masa kepemimpinan SBY. Karena harga BBM murah? Plis lah. Memangnya hidup ini cuma buat beli bbm doang ya? Untuk Anda yang masih berpikiran bahwa jaman Suharto lebih baik, saya menyarankan untuk mulai sedikit membuka wawasan. Atau paling tidak, mulai dengan membaca postingan blog dari Pandji Pragiwaksono ini. http://pandji.com/membieber/
Salah satu hal yang berhasil dilakukan SBY dalam era kepemimpinannya ini, adalah memperbaiki keadaan ekonomi indonesia secara makro. Saya melihat keseriusan dan kefokusan dia dan timnya dalam masalah ini sangat baik. Mungkin saking fokusnya, sampai masalah-masalah lain di negeri ini kagak diperhatikan, ya? Hehe.
SBY berhasil membuat perekonomian kita tumbuh di kisaran 6 koma dalam tahun-tahun kepemimpinannya. Termasuk saat krisis 2008 melanda kita. Angka yang terbilang bagus jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Negara-negara di Eropa bahkan ada yang pertumbuhannya minus karena krisis itu. Kita? Kita tidak hanya bertahan, kita bahkan tumbuh.
Salah satu cara untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, adalah dengan melihat GDP-nya.
Nah, sebelumnya di sini saya mau sedikit membahas tentang GDP. Menurut wikipedia, GDP, atau Gross Domestic Product adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional.
Perhatikan, di sana ada kalimat SEMUA BARANG DAN JASA. Artinya semua produk dan jasa yang diproduksi di Indonesia, akan masuk nilainya ke dalam GDP kita, termasuk yang diproduksi oleh perusahaan asing.
Sedikit contoh untuk menambah wawasan kita, saat ada perusahaan yang berasal dari luar negeri berproduksi di Indonesia, (misalnya PT. Honda Prospect Motor yang bergerak di bidang industri manufacture kendaraan bermotor, atau juga Chevron yang bergerak di bidang energi) nilai yang mereka hasilkan dari hasil produksi pabrik mereka di sini, akan masuk ke dalam GDP kita. BUKAN ke dalam negara asal mereka.
Jadi salah besar kalau ada sebagian dari kita yang mikir kalau perusahaan asing yang jumlahnya berjibun itu seratus persen dapat diartikan sebagai kemunduran dan ketertinggalan bagi kita.
Kalau pabrik Honda di Indonesia dapat untung, dan bayar pajak ke pemerintah, itu yang untung pemerintah Indonesia, bukan pemerintah jepang. Pemerintah Jepang mah dapetnya dari pabriknya Honda yang di Jepang.
Honda itu perusahaan swasta, dan nggak ada kaitannya dengan pemerintah Jepang. Urusan dia di Indonesia ya urusan Honda dengan pemerintah Indonesia, bukan dengan Jepang.
Contoh lain kita ambil dari buku Mind Set-nya John Naisbitt, (saya sangat suka buku ini, btw) dengan mengambil kasus perusahaan Nestle.
Nestle adalah perusahaan asal Swiss. 98% pendapatannya didapat dari luar Swiss. 97% karyawannya juga berada di negara lain. CEO dan delapan anggota dewan direksinya adalah orang di luar Swiss. Dan terakhir, 63% sahamnya dimiliki asing. Nah pertanyaannya: Nestle ini Swiss-nya di bagian mana, yak? -___-
Namun, perhitungan pertumbuhan ekonomi yang menggunakan GDP sebagai tolak ukurnya ini mulai ditinjau lagi oleh para ahli. John Naisbitt bilang, GDP bukan lagi sebuah angka yang relevan. Batas negara sudah tidak lagi bisa dijadikan batasan pertumbuhan ekonomi. Kita sekarang memerlukan batasan baru: domain. Domain itu bisa berupa domain industri otomotif, domain jasa pelayaran, domain perkebunan kopi dsb. Yang kita perlukan sekarang adalah Gross Domain product, sebuah GDP baru.
Terlepas dari mana yang bener, GDP versi lama atau versinya John Naisbitt, kita kembali ke era SBY. Ini adalah chart pertumbuhan ekonomi yang saya dapat dari presidentri.go.id. (entah akurat apa enggak, soalnya dari dia sih)

Lihat juga chart lain yang berhubungan dengan ekonomi makro SBY. Seperti utang pada IMF.

dan utang pemerintah.

Di sini terlihat jelas kalau SBY dan tim ekonominya lebih siap saat menghadapi krisis 2008 daripada Suharto dengan krisis 1997-nya (yang membuat orang tua saya tidak mampu beli susu dan tiap pagi saya harus ganti minum teh saat mau berangkat sekolah.) Suharto, menggunakan aliran dana asing sebagai kekuatannya. Sedangkan SBY, menggunakan besarnya kekuatan konsumsi dalam negeri kita saat ini (FYI, kalau kita hidup boros dan konsumtif, sebenarnya itu membantu perekonomian nasional lho, haha.) Jadi saat ada krisis dari luar, kita tetap bisa bertahan.
Lalu di sini juga ada GDP negara-negara di dunia, dan GDP per capita negara-negara di dunia. Chart ini saya dapat dari nationmaster.com. Agak lama sih datanya, tapi bisa kita jadikan referensi kok.

Perhatikan posisi Indonesia! Indonesia adalah negara dengan GDP nasional ke 15 terbesar di dunia. Nomor 5 di Asia setelah China, Jepang, India dan Korsel. Unggul jauh dari Malaysia di peringkat 35. (Oke, saya juga nggak tahu kenapa kita suka banget membandingkan apapun dengan negara satu ini.)
Keren kan ya? Apa artinya itu? Artinya, secara makro, ekonomi kita memang bagus, kerja keras SBY dan timnya selama 2 periode masa jabatan ini sukses (dalam bidang ini doang lho, ya.) Oke mari kita beri tepuk tangan bersama-sama!

Lalu perhatikan GDP yang per capita. Indonesia ada di peringkat 152. Kalah dari Malaysia yang berada di posisi 71, apalagi Singapura di posisi 5. Artinya : secara mikro, kita masih buruk.
Nah, yang saya setuju, adalah keputusan SBY untuk fokus dulu ke makro. Memang mengurusi ekonomi mikro itu punya potensi untuk dapat kontak langsung dengan rakyat kecil, dan itu bagus buat pencitraan. Tapi kayaknya dia sadar, kalau makronya udah jelek dulu, pertumbuhan itu cuma angka-angka yang bullshit.
Lalu ada pertanyaan lagi, kenapa kita bisa bagus di GDP nasional, tapi di GDP per capita jelek? Jawabannya satu, karena kesenjangan ekonomi kita, masih sangat buruk. Uang yang beredar di masyarakat, sebagian besar dimiliki oleh kalangan kecil tertentu. Kalangan seperti pengusaha dan pejabat.
Sebenarnya itu sih wajar ya. Kalau kita membaca Cashflow Quadrant-nya Robert Kiyosaki, kuadran kanan yang berupa Investor dan pemilik bisnis, memang sedikit jumlahnya, tapi menguasai sebagian besar uang yang ada. Sebaliknya, kuadrant kiri, karyawan dan pemilik usaha mandiri, jumlahnya besar, tapi megang duitnya sedikit. Hal seperti itu emang wajar. Cuma kalau kesenjangannya segede ini, nah ini baru yang nggak wajar.

Kenapa bisa begitu? Karena pendapatan negara kita masih didominasi oleh beberapa sektor saja. Seperti misalnya hasil perkebunan (ingat, kita negara agraris) dan tambang (migas terutama). Padahal kedua sektor ini nggak bisa menyerap karyawan banyak-banyak, seperti sektor jasa dan industri misalnya. Makanya, negara-negara industri, sebagian besar GDP per capitanya bagus.
Padahal ketergantungan pada tambang itu juga nggak baik. Qatar misalnya, negeri kaya dari timur tengah ini 70% GDPnya dari migas. Untung saja dia punya cadangan minyak banyak. Bayangkan kalau cadangannya habis, dan negara itu belum memiliki sektor lain sebagai pengganti. Qatar pasti akan kolaps.
Semua Presiden punya fokus dalam setiap masa jabatannya. Sukarno fokus dengan kedaulatan dan kemerdekaan RI. Suharto fokus memperkaya keluarganya. Hehe. Habibie fokus mbenerin apa yang dulu dirusak Suharto. Gus Dur fokus pada pluralisme, dan mengabaikan perekonomian. Megawati fokus pada nasib rakyat kecil. Dan SBY, fokus pada ekonomi makro.
Di tangannya, utang luar negeri kita (bukan jumlahnya, tapi % dari GDP-nya, jumlahnya sih naik) turun, kita tidak telalu lagi bergantung pada IMF dan CGI (ket: CGI adalah organisasi negara dan lembaga Internasional yang berpusat di Paris. Tugasnya adalah mengurusi donor kepada Indonesia. Simplenya: kumpulan orang yang mau ngasih utangan), dan ekonomi makro kita, membaik. SBY berhasil.
Saya tahu, SBY banyak dikritik. Karena memang berada di posisi sebagai presiden itu nggak akan pernah mudah bagi semua orang. Tapi setidaknya, dari berbagai rapor merah yang dia dapat karena banyak kinerjanya yang buruk, ada satu hal yang berhasil dia lakukan dengan baik. Bahkan, dialah yang terbaik jika dibandingkan dengan semua presiden RI yang terdahulu.
***
Yah, entah apa yang ada dipikiran  saya. Padahal saya kuliah di teknik, tapi malah ngurusin ginian.