Malas
Teman-teman dekat saya pasti sudah sangat hafal sifat saya yang satu ini. Saat ini saya sedang kuliah di semester 6, dan semester ini adalah semester di mana saya melakukan kemalasan paling parah sepanjang pengalaman akademik saya.
Tapi satu hal, bahwa sifat malas tidak serta merta saya gabungkan dengan sifat tak peduli. Walaupun saya malas, tapi saya masih berusaha tanggung jawab atas konsekuensinya. Saya adalah tipe orang yang tidak bisa tidur nyenyak kalau tugas belum selesai. Saya adalah tipe orang, yang selalu kepikiran saat sedang memiliki satu masalah.
“I will always choose a lazy person to do a difficult job. Because he will find an easy way to do it.” Bill Gates.
Atau dalam kata lain, saya malas tapi dengan perhitungan.
Contohnya, semester ini saya punya dua mata kuliah yang jamnya bareng. Pada awal semester, semua mahasiswa yang punya jadwal bareng seperti itu harus mengurus ulang jadwalnya di pengajaran. Tapi saya tidak. Saya memilih untuk memprioritaskan satu mata kuliah, dan yang satunya lagi saya tinggalkan. Saya melakukannya dengan beberapa pertimbangan seperti, dosennya yang nggak pernah ngecek absensi, nilai yang keluar biasanya ‘gaib’ (kamu tahu, yang misalnya anak rajin dapat C, trus tukang bolos dapat A) dan pelajarannya yang kelewat susah. Saya pernah melakukan ini semester lalu, dan IP saya tetap 3. Gambling saya ternyata berhasil. Sekali lagi, malas tapi dengan perhitungan.
Saya ingat waktu masih di SD, saya sering memilih tempat duduk di dekat jendela hanya supaya bisa melamun, melihat ke luar kelas saat pelajaran masih berlangsung. Saya sering membayangkan hal-hal yang lebih menyenangkan untuk saya lakukan kalau saja saya tidak sedang berada di kelas saat itu.
Tapi untung saja, walaupun saya malas, saya nggak pernah ketinggalan pelajaran. Yah, pernah sih ketinggalan sedikit, tapi tidak pernah sampai benar-benar fatal. Misalnya saja saya sering nggak ngerti kenapa banyak orang yang bilang kalau fisika itu rumit. Memang, saya samasekali bukan murid yang rajin, saya hanya belajar saat mau ujian, tapi itu tidak pernah mengganggu saya. Fisika bagi saya masih biasa-biasa saja, kok.
Satu hal yang menjadi hipotesis saya: Pola pikir. Saya malas, dan saya suka menyepelekan pelajaran. Tidak seperti orang lain yang sudah punya pikiran bahwa fisika itu susah. Menyepelekan dalam artian saya nggak pernah menganggap satu pelajaran itu sulit. Jujur, saya sering menyepelekan banyak hal, karena hal itu membuat saya merasa lebih percaya diri.
Dan sekarang, inilah saya. Dulu seorang pelajar SMA malas, sekarang menjadi mahasiswa Teknik mesin, (yang setiap hari kuliahnya hanya fisika dan matematika). Walaupun saya malas, tapi anehnya dulu saya nggak pernah berpikir untuk memilih kuliah ke program studi yang lebih ‘santai.’ Saya hanya let it flow.
Malas dengan perhitungan. Ah, kayaknya itu bisa-bisanya saya ngeles aja.
Tidak harus menjadi benar
Saya sering nggak paham dengan bagaimana cara kebanyakan orang menghadapi masalah. Saat pertama kali masalah muncul, kebanyakan dari kita akan bertanya, “Salah siapa ini?”
Seolah-olah dengan mengetahui siapa yang paling bersalah, akan membuat keadaan bertambah baik. Kemudian kalau tidak ada yang bisa menemukan siapa yang paling bersalah, mereka akan beradu argumen untuk menjadi yang paling benar, atau paling tidak, menjadi orang yang kesalahannya paling sedikit.
Saya pertama kali menyadari hal ini saat mengikuti rapat Himpunan Mahasiswa di kampus. Saat itu sedang dibahas LPJ sebuah acara yang terbilang kurang berhasil, dan beberapa pihak mulai saling menyalahkan.
Saya sendiri jarang berusaha untuk tampil paling benar di depan orang-orang, karena saya tahu hal itu tidak begitu bermanfaat.
Sedikit kutipan dari John Naisbitt dalam bukunya Mind Set, dalam bab 4 “Memahami betapa menguntungkannya bila Anda tidak harus selalu benar”:
Keharusan menjadi benar menghalangi pikiran Anda
Orang secara budaya dikondisikan untuk benar. Orang tua selalu benar. Guru selalu benar. Bos selalu benar. Siapa yang benar menentukan apa yang benar. Suami-istri bertengkar soal masalah-masalah yang intinya justru terlupakan akibat keduanya berebut menjadi pihak yang benar.
Partai-partai politik berpendirian harus benar. Seberapa sering sebuah partai politik menerima sikap pihak lain? Bayangkan jika semua energi yang dicurahkan untuk membuktikan pihak lain yang salah- dan kita benar- disalurkan untuk memikirkan apa yang terbaik bagi apapun. Yang lebih parah lagi, keharusan menjadi benar merupakan sebuah rintangan dalam pembelajaran dan pemahaman, Keharusan menjadi benar menghambat pertumbuhan Anda, karena pertumbuhan tidak akan terjadi tanpa mengubah, mengoreksi, dan mempertanyakan diri sendiri.
Jika Anda harus benar, Anda menempatkan diri sendiri dalam sebuah benteng tertutup. Tapi begitu Anda merasakan hebatnya tidak harus benar, Anda akan merasa seperti berjalan melintasi sebuah padang terbuka, di mana cakrawala terbentang luas dan kaki Anda bebas melangkah ke mana saja.
Jatuh cinta
Suatu hari seorang teman berniat mengenalkan saya kepada seorang cewek. Saya lihat potonya (yah, walau bagaimanapun saya harus selektif kan ya, hehe) ternyata cantik juga.
Saya bilang ke dia, “Ntar deh, aku pikir-pikir dulu.”
Teman saya lalu bilang, “Yaelah, kan cuma kenalan pake mikir-mikir, sok kecakepan lo. Kalau bisa dapet kan lo untung juga.”
Mungkin teman saya benar, saya sok kecakepan (terlalu selektif mungkin yang dia maksud). Saya juga pernah memikirkan ini.
Kadang-kadang saya nggak ngerti dengan bagaimana cara teman-teman di sekitar saya membangun hubungan. Ada cewek cakep, ya diajak kenalan. Kalau bisa jadi ya sukur, kalau nggak yaudah. Simple.
Menurut saya, kebanyakan dari teman-teman saya yang membangun hubungan dengan cara seperti itu sebenarnya lebih menyukai ‘konsep pacarannya,’ bukan ‘’orang yang dia ajak pacaran.” You know, kadang-kadang memang ada orang yang lebih suka dengan konsep pacaran itu melebihi dengan orang yang dia ajak pacaran.
Pacaran memberikan mereka rutinitas yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang nggak punya pacar. Seperti misalnya sms selamat pagi, ngingetin udah makan belum, gandengan tangan, bahkan ciuman. Mereka lebih suka dengan rutinitas-rutinitas seperti itu. Nggak penting orangnya gimana. Memang kalau dilihat sekilas, mereka terlihat saling sayang. Di twitter misalnya, jumlah mention-mention mesra mungkin udah nggak kehitung jumlahnya.
Tapi yang jelas kelihatan beda adalah saat hubungan mereka suatu hari harus berakhir. Kelihatannya gampang banget buat mereka move on dan mencari seseorang yang baru. Seolah-olah mereka gampang banget buat jatuh cinta.
Saya sering mikir, kalau mereka itu jatuh cintanya sedalem apa ya? Kok bisa-bisanya secepat itu ganti perasaan.
Berbeda dengan saya. Saya pernah beberapa kali jatuh cinta, ada yang berbalas, ada yang tidak. Saya nggak pernah terbebani kalau ada seseorang memanggil saya ‘jomblo.’ Saya nggak pernah terbebani kalau banyak dari teman saya ganti-ganti pacar dan saya masih juga sendiri. Saya punya definisi sendiri untuk jatuh cinta: kalau saatnya udah tepat, pasti ada orang yang tepat.
Saya memilih untuk jalan seperti ini karena saya orangnya suka over dan terlalu sensitif. Misal kalau udah galau, saya butuh berbulan-bulan atau mungkin tahun untuk recover. Dan itu menyakiti saya. Nah, untuk mengantisipasi hal itu, akhirnya saya memilih hanya jatuh cinta kalau sudah benar-benar ngerasa yakin.
Well, dan ternyata banyak hal yang nggak sesuai harapan. Saya pernah merasa yakin dengan seseorang dan ternyata it’s not working. Ternyata kita nggak cocok. Saya orangnya susah buat jatuh cinta, tapi sekalinya iya, saya sering terlalu dalem buat ngerasainnya.
Setelah itu, saya sering ngerasa bodoh dengan pemikiran saya ini. Kayaknya, saya harus meredefinisi lagi arti cinta dalam perspektif pribadi saya.
Mudah Akrab
Satu hal yang saya sukai dari diri saya, saya mudah akrab dengan orang. Ibu-ibu warung, mbak-mbak laudry, tukang parkir warung padang, tukang fotokopi, pemilik kios jus, semua mudah saya akrabi. Bahkan saking akrabnya, saat saya mau Kerja Praktek, Mbak yang punya laudry di dekat kos saya bilang saat ketemu saya, “Mas Vava ati-ati di jalan, ya.”
“…” *hening
Atau ketika masuk warung burjo. Saya paling suka makan indomie soto dengan telur dobel, dan minum es marimas rasa cincau. Aa’ burjo di sana setiap kali melihat saya datang pasti langsung tanya, “Indomie telur dobel sama marimas cincau, Va?”
Saya pasti jawab, “Yoi Coy.”
For your information, saya hanya memanggil orang dengan ‘coy’ kalau orang itu sudah akrab saja.
Sepele memang. Tapi saya rasa, seramah apapun SOP di restoran mewah yang kamu datangi, nggak ada yang bisa mengalahkan rasanya keakraban sederhana saat pelayan warung kecil menyapa dengan menyebutkan nama kita, dan hafal apa makanan favorit kita.
Aduh… kepanjangan kayaknya, besok nyambung lagi deh. Udah malem.