Monthly Archives: April 2013

… lanjutannya

Rasanya agak lucu. Beberapa hari setelah memposting potingan ini di blog, saya menemukan quote ini dari Mario Teguh:

Tujuan hidup kita bukanlah untuk menjadi berbahagia. Tujuan hidup kita adalah untuk menjadi sebab bagi kebahagiaan, bagi diri sendiri dan bagi sebanyak mungkin orang lain.

Kalimat itu bagus. But, i don’t agree.

Mencintai Tuhan

Sebuah percakapan dengan seorang teman di FB beberapa saat yang lalu. Percakapan dilakukan dalam bahasa asing, jadi di sini saya tampilkan terjemahannya aja yah, biar gampang :p

Dia : “Nah, kenapa Tuhan nyiptain orang miskin, orang gabisa hamil, Salah mereka apa? Bahkan yang diberi kemapanan dunia malah pada korup?”

Saya : “Kalo miskin sih salah personalnya ya, tapi kalo ga bisa hamil, aku ga tau. Kadang-kadang emang gitu aja.”

Pas di sini, saya diam sejenak. Saya ngelihat langit-langit kamar sebentar sambil mikir. Bener juga ya. Kenapa orang-orang itu lahir dengan keadaan yang seperti itu? Kenapa mereka dilahirkan tanpa pilihan? Kalau miskin kan bisa diubah, nah kalau mandul? Kenapa ada orang mandul? Sementara mayoritas orang gak mandul? Kan katanya Tuhan adil?

Saya diam beberapa saat, sampai terbesit sesuatu dipikiran saya. Lalu, segera saya ketik di keyboard.

Saya : “Mungkin ya, mungkin lho ini, Tuhan tuh pgen menunjukkan, kalo cinta sejati kita itu harusnya buat Dia. Cinta pada hal lain bisa membuat kita sakit hati saat kehilangan. Tapi Tuhan, kita kan gak pernah kehilangan Tuhan.”

Dia:”Iya, bener.”

Kadang-kadang, secara sepihak, kita memang sering merasa kalau Tuhan itu agak ‘egois.’ Jujur saya juga pernah mikir gitu, waktu saya berdoa menginginkan something, dan tidak terkabul. Semenjak itu saya jarang berdoa. Kadang-kadang juga kita mikir, Tuhan ‘egois’ karena dia pengen menjadi satu-satunya yang kita cintai secara mutlak.

Tapi buat apa? Justru kita sebenarnya diselamatkan berkat ‘keegoisan’ Tuhan itu. Cinta pada hal lain punya potensi membuat kita sakit hati, saat kita kehilangan. Tapi tidak dengan cinta kita pada Tuhan, kita nggak akan pernah kehilangan Tuhan. 🙂

Keadaan Ekonomi Makro Kita di Era SBY

Saya nggak tahu apa yang ada di benak orang-orang yang mikir kalau jaman Soeharto itu lebih enak daripada jaman sekarang, di masa kepemimpinan SBY. Karena harga BBM murah? Plis lah. Memangnya hidup ini cuma buat beli bbm doang ya? Untuk Anda yang masih berpikiran bahwa jaman Suharto lebih baik, saya menyarankan untuk mulai sedikit membuka wawasan. Atau paling tidak, mulai dengan membaca postingan blog dari Pandji Pragiwaksono ini. http://pandji.com/membieber/

Salah satu hal yang berhasil dilakukan SBY dalam era kepemimpinannya ini, adalah memperbaiki keadaan ekonomi indonesia secara makro. Saya melihat keseriusan dan kefokusan dia dan timnya dalam masalah ini sangat baik. Mungkin saking fokusnya, sampai masalah-masalah lain di negeri ini kagak diperhatikan, ya? Hehe.

SBY berhasil membuat perekonomian kita tumbuh di kisaran 6 koma dalam tahun-tahun kepemimpinannya. Termasuk saat krisis 2008 melanda kita. Angka yang terbilang bagus jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Negara-negara di Eropa bahkan ada yang pertumbuhannya minus karena krisis itu. Kita? Kita tidak hanya bertahan, kita bahkan tumbuh.

Salah satu cara untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, adalah dengan melihat GDP-nya.

Nah, sebelumnya di sini saya mau sedikit membahas tentang GDP. Menurut wikipedia, GDP, atau Gross Domestic Product adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional.

Perhatikan, di sana ada kalimat SEMUA BARANG DAN JASA. Artinya semua produk dan jasa yang diproduksi di Indonesia, akan masuk nilainya ke dalam GDP kita, termasuk yang diproduksi oleh perusahaan asing.

Sedikit contoh untuk menambah wawasan kita, saat ada perusahaan yang berasal dari luar negeri berproduksi di Indonesia, (misalnya PT. Honda Prospect Motor yang bergerak di bidang industri manufacture kendaraan bermotor, atau juga Chevron yang bergerak di bidang energi) nilai yang mereka hasilkan dari hasil produksi pabrik mereka di sini, akan masuk ke dalam GDP kita. BUKAN ke dalam negara asal mereka.

Jadi salah besar kalau ada sebagian dari kita yang mikir kalau perusahaan asing yang jumlahnya berjibun itu seratus persen dapat diartikan sebagai kemunduran dan ketertinggalan bagi kita.

Kalau pabrik Honda di Indonesia dapat untung, dan bayar pajak ke pemerintah, itu yang untung pemerintah Indonesia, bukan pemerintah jepang. Pemerintah Jepang mah dapetnya dari pabriknya Honda yang di Jepang.

Honda itu perusahaan swasta, dan nggak ada kaitannya dengan pemerintah Jepang. Urusan dia di Indonesia ya urusan Honda dengan pemerintah Indonesia, bukan dengan Jepang.

Contoh lain kita ambil dari buku Mind Set-nya John Naisbitt, (saya sangat suka buku ini, btw) dengan mengambil kasus perusahaan Nestle.

Nestle adalah perusahaan asal Swiss. 98% pendapatannya didapat dari luar Swiss. 97% karyawannya juga berada di negara lain. CEO dan delapan anggota dewan direksinya adalah orang di luar Swiss. Dan terakhir, 63% sahamnya dimiliki asing. Nah pertanyaannya: Nestle ini Swiss-nya di bagian mana, yak? -___-

Namun, perhitungan pertumbuhan ekonomi yang menggunakan GDP sebagai tolak ukurnya ini mulai ditinjau lagi oleh para ahli. John Naisbitt bilang, GDP bukan lagi sebuah angka yang relevan. Batas negara sudah tidak lagi bisa dijadikan batasan pertumbuhan ekonomi. Kita sekarang memerlukan batasan baru: domain. Domain itu bisa berupa domain industri otomotif, domain jasa pelayaran, domain perkebunan kopi dsb. Yang kita perlukan sekarang adalah Gross Domain product, sebuah GDP baru.

Terlepas dari mana yang bener, GDP versi lama atau versinya John Naisbitt, kita kembali ke era SBY. Ini adalah chart pertumbuhan ekonomi yang saya dapat dari presidentri.go.id. (entah akurat apa enggak, soalnya dari dia sih)

Lihat juga chart lain yang berhubungan dengan ekonomi makro SBY. Seperti utang pada IMF.

dan utang pemerintah.

Di sini terlihat jelas kalau SBY dan tim ekonominya lebih siap saat menghadapi krisis 2008 daripada Suharto dengan krisis 1997-nya (yang membuat orang tua saya tidak mampu beli susu dan tiap pagi saya harus ganti minum teh saat mau berangkat sekolah.) Suharto, menggunakan aliran dana asing sebagai kekuatannya. Sedangkan SBY, menggunakan besarnya kekuatan konsumsi dalam negeri kita saat ini (FYI, kalau kita hidup boros dan konsumtif, sebenarnya itu membantu perekonomian nasional lho, haha.) Jadi saat ada krisis dari luar, kita tetap bisa bertahan.

Lalu di sini juga ada GDP negara-negara di dunia, dan GDP per capita negara-negara di dunia. Chart ini saya dapat dari nationmaster.com. Agak lama sih datanya, tapi bisa kita jadikan referensi kok.

Perhatikan posisi Indonesia! Indonesia adalah negara dengan GDP nasional ke 15 terbesar di dunia. Nomor 5 di Asia setelah China, Jepang, India dan Korsel. Unggul jauh dari Malaysia di peringkat 35. (Oke, saya juga nggak tahu kenapa kita suka banget membandingkan apapun dengan negara satu ini.)

Keren kan ya? Apa artinya itu? Artinya, secara makro, ekonomi kita memang bagus, kerja keras SBY dan timnya selama 2 periode masa jabatan ini sukses (dalam bidang ini doang lho, ya.) Oke mari kita beri tepuk tangan bersama-sama!

Lalu perhatikan GDP yang per capita. Indonesia ada di peringkat 152. Kalah dari Malaysia yang berada di posisi 71, apalagi Singapura di posisi 5. Artinya : secara mikro, kita masih buruk.

Nah, yang saya setuju, adalah keputusan SBY untuk fokus dulu ke makro. Memang mengurusi ekonomi mikro itu punya potensi untuk dapat kontak langsung dengan rakyat kecil, dan itu bagus buat pencitraan. Tapi kayaknya dia sadar, kalau makronya udah jelek dulu, pertumbuhan itu cuma angka-angka yang bullshit.

Lalu ada pertanyaan lagi, kenapa kita bisa bagus di GDP nasional, tapi di GDP per capita jelek? Jawabannya satu, karena kesenjangan ekonomi kita, masih sangat buruk. Uang yang beredar di masyarakat, sebagian besar dimiliki oleh kalangan kecil tertentu. Kalangan seperti pengusaha dan pejabat.

Sebenarnya itu sih wajar ya. Kalau kita membaca Cashflow Quadrant-nya Robert Kiyosaki, kuadran kanan yang berupa Investor dan pemilik bisnis, memang sedikit jumlahnya, tapi menguasai sebagian besar uang yang ada. Sebaliknya, kuadrant kiri, karyawan dan pemilik usaha mandiri, jumlahnya besar, tapi megang duitnya sedikit. Hal seperti itu emang wajar. Cuma kalau kesenjangannya segede ini, nah ini baru yang nggak wajar.

Kenapa bisa begitu? Karena pendapatan negara kita masih didominasi oleh beberapa sektor saja. Seperti misalnya hasil perkebunan (ingat, kita negara agraris) dan tambang (migas terutama). Padahal kedua sektor ini nggak bisa menyerap karyawan banyak-banyak, seperti sektor jasa dan industri misalnya. Makanya, negara-negara industri, sebagian besar GDP per capitanya bagus.

Padahal ketergantungan pada tambang itu juga nggak baik. Qatar misalnya, negeri kaya dari timur tengah ini 70% GDPnya dari migas. Untung saja dia punya cadangan minyak banyak. Bayangkan kalau cadangannya habis, dan negara itu belum memiliki sektor lain sebagai pengganti. Qatar pasti akan kolaps.

Semua Presiden punya fokus dalam setiap masa jabatannya. Sukarno fokus dengan kedaulatan dan kemerdekaan RI. Suharto fokus memperkaya keluarganya. Hehe. Habibie fokus mbenerin apa yang dulu dirusak Suharto. Gus Dur fokus pada pluralisme, dan mengabaikan perekonomian. Megawati fokus pada nasib rakyat kecil. Dan SBY, fokus pada ekonomi makro.

Di tangannya, utang luar negeri kita (bukan jumlahnya, tapi % dari GDP-nya, jumlahnya sih naik) turun, kita tidak telalu lagi bergantung pada IMF dan CGI (ket: CGI adalah organisasi negara dan lembaga Internasional yang berpusat di Paris. Tugasnya adalah mengurusi donor kepada Indonesia. Simplenya: kumpulan orang yang mau ngasih utangan), dan ekonomi makro kita, membaik. SBY berhasil.

Saya tahu, SBY banyak dikritik. Karena memang berada di posisi sebagai presiden itu nggak akan pernah mudah bagi semua orang. Tapi setidaknya, dari berbagai rapor merah yang dia dapat karena banyak kinerjanya yang buruk, ada satu hal yang berhasil dia lakukan dengan baik. Bahkan, dialah yang terbaik jika dibandingkan dengan semua presiden RI yang terdahulu.

***

Yah, entah apa yang ada dipikiran  saya. Padahal saya kuliah di teknik, tapi malah ngurusin ginian.

Tujuan Kita Hidup

Apa sih tujuan kita hidup?

Belakangan ini saya punya kebiasaan baru: Selalu memikirkan sebuah kalimat tanya di kepala saya yang diawali dengan ‘kenapa’ pada setiap kegiatan yang sedang saya lihat. Ribet ya kalimatnya? Hehe.

Jadi gini sederhananya. Saya akhir-akhir ini sering memikirkan tujuan kenapa kita mau melakukan sebuah kegiatan.

Misalnya, suatu hari saya lagi males banget buat kuliah pagi. Waktu akhirnya saya cuma tiduran di kos, saya mikir gini, ‘kenapa ya kita kuliah?’

Oke, biar pinter. Tapi kalo udah pinter, then what? Kenapa kita pengen pinter? Kenapa kita nggak mau bodoh saja? Oke, ada asumsi positif negatif di sini. Pinter itu positif dan bodoh itu negatif. Nah pertanyaannya, sejak kapan asumsi itu muncul? Gimana kalo asumsi itu nggak pernah muncul? Misalnya bodoh itu nggak negatif, bodoh itu just bodoh aja, dan pinter itu just pinter aja. Bodoh dan pinter itu netral. Apa kita tetap mau kuliah?

Nah, contohnya kaya gitu. Jujur, saya juga kadang-kadang ngerasa aneh kalo kepikiran hal kayak gitu.

Lalu dengan sekejap muncul banyak pertanyaan lain di otak saya.

Kenapa kita harus bekerja? Kenapa kita pengen kaya? Kenapa kita pengen hidup enak? Bukankah hidup enak itu justru membuat kita jadi malas? Nah bukannya malas itu sifat negatif? Kenapa kita belajar? Kenapa kita ingin pintar? Kenapa kita pengen membuat orang tua bangga? Kenapa kita jatuh cinta? (well, untuk pertanyaan satu ini, juga lagi saya pikirin dalem-dalem, soalnya saya lagi nulis buku soal ini, hehe, doakan semoga jadi. amin) kenapa kita pengen hidup bersama orang yang kita suka? kenapa sendirian itu nggak enak? Kenapa kita di satu waktu pengen bantu orang? Tapi kenapa di lain waktu kita pelit buat ngasih bantuan?

Bingung ya, karena saya banyak nanya?

Haha. Sama.

Semua pertanyaan itu, saya juga bingung jawabannya apa. Tapi tunggu sebentar. Beberapa hari yang lalu saat saya lagi tiduran di kosan seorang teman, saya memikirkan jawaban yang cukup masuk akal.

Kita melakukan semua itu, karena kita pengen bahagia. Masuk akal gak?

Pinter itu membuat kita bahagia. Kaya juga. Hidup enak juga. Melihat orang tua bahagia juga. Hidup bersama orang yang kita sayangi, tentu saja juga.

Membantu orang lain juga membuat kita bahagia. Pelit pun juga, walaupun cuma sesaat.

Kita semua takut dan nggak mau kehilangan harta yang susah payah kita dapatkan dengan percuma. Dan pelit membuat kita aman dari rasa takut itu. Nah, rasa aman itulah yang membuat kita bahagia. Hehe. Itu sih, hasil pemikiran random saya saja.

Jadi, tujuan kita hidup: untuk bahagia.

PS: Buat kalian yang mikir tujuan hidup kita adalah untuk mempersiapkan akhirat, saya setuju. Tapi maaf ya,  saya di sini lagi mbahas tujuan yang bisa langsung kita rasakan sewaktu masih hidup.

PSS: Saya yakin saya bukan orang pertama yang punya pendapat kalau tujuan kita hidup adalah untuk bahagia. Tapi asli ini saya mikir sendiri, kalaupun ada orang yang sama ngepost, berati itu pikiran kita kebetulan lagi sama aja.

A Little Quote from Blood Diamond

Ini adalah film yang bagus. Leonardo Di Caprio dan Jennifer Connelly menjadi jaminan mutu di film ini. Berikut adalah dialog favorit saya sepanjang film.

Maddy : My dad came home from the war in ’69. And it took him…

Danny : …about 20 years to get right.

Maddy : What?

Danny : You Americans love to talk about your feelings, huh?

Maddy : So, what does that mean?

Danny : What does that mean? Got a thing for messed-up vets now?

Maddy : Shut up. You lost both your parents.

Danny : That’s a polite way of putting it, yeah.
Mom was raped and shot…
…and Dad was decapitated
and hung from a hook in the barn.
I was 9.
Boohoo, right?

Pesan moral : Saat merasa sedih, nggak usah sok-sokan jadi orang paling menderita di dunia. Pasti ada aja orang yang nasibnya lebih buruk. Bersyukurlah.

Sisi Lain AKB48 dan JKT48


Saya pernah merasa aneh saat menyadari kalau saya menyukai JKT48. Kemudian saya melihat teman-teman, ternyata bukan hanya saya sendiri yang suka. Di sini saya nggak mau nulis soal profil membernya, ataupun diskografinya, karena sudah banyak yang menulis itu di internet. Saya pengen nulis tentang JKT48 dari sudut pandang lain.

JKT48 adalah sister grup AKB48 dari Jepang. Bagi saya, JKT48 benar-benar anomali di dunia musik Indonesia. Karena sebelum kemunculannya, belum pernah ada grup musik yang berformat idol group seperti mereka itu. Bagi yang belum idol group itu apa, googling aja ya, saya males neranginnya hehe.

Dan yang paling menarik perhatian saya, justru adalah produser mereka, Yasushi Akimoto. Yasushi Akimoto pasti seorang yang jenius di dunia entertain. Berikut adalah alasan kenapa menurut saya Yasushi Akimoto adalah jenius.

Membuat Idola yang mudah tergantikan

Dengan kenyataan bahwa Asia sedang dikuasai grup-grup dari Korea, ternyata dia tidak dengan serta merta melakukan perlawanan dengan cara yang sama: membuat grup yang serupa, dengan personil-personil yang secara fisik cantik sempurna. Dia justru melakukan yang sebaliknya, mengaudisi gadis-gadis ‘biasa’ yang punya jiwa bintang dalam diri mereka. Kalau dalam buku Purple Cow-nya Seth godin, Yasushi Akimoto ini mengambil ceruk pasarnya sendiri.

Ada satu poin penting yang seharusnya tidak kita lupakan, bahwa ngefans AKB48 (dan sister-sister grup lainnya) serupa dengan ngefans sebuah klub sepakbola. Jadi misal ya, saya ngefans Chelsea. Entah Chelsea ganti jersey, ganti pemain atau ganti manajer, saya tetap fans Chelsea.

Begitu juga dengan AKB48. Kita tidak peduli siapa member yang ada di grup itu, selama grup itu masih bernama ‘AKB48’ kita masih akan tetap menyukainya.

Seperti misalnya, Atsuko Maeda sudah lama menjadi member terfavorit di AKB48, tapi ketika dia memutuskan untuk keluar (atau istilahnya graduate) tingkat kepopuleran AKB48 kelihatan tidak sedikitpun turun. Di sinilah letak kejeniusan Yasushi Akimoto. Dia berhasil menanamkan sebuah mindset ke para penggemar bahwa idola itu, bisa dengan mudah tergantikan. Dengan keberhasilannya itu, dia mempunyai kendali penuh atas grup idolnya. Misalnya saja ketika ada member yang membuat masalah, atau berselisih paham dengan manajemen (Cleopatra dengan manajemen JKT48, misalnya), dia bisa saja langsung mengeluarkan member itu dan dengan mudah mendapatkan penggantinya. Apalagi dengan audisi rutin yang biasa dia lakukan.

Beberapa keuntungan konsep ini:

  1. Basis Fans tidak akan berat ke satu member saja
  2. Member mudah digantikan
  3. Member mudah diatur
  4. Member nggak akan kebanyakan tingkah (banyak kan, kasus manajemen dan member yang berselisih paham. Hankyung dan SM Entertainment misalnya)
  5. Grup akan tetap populer walaupun membernya sudah banyak yang ganti

Bayangkan kalau hal itu terjadi di grup musik korea, yang notabene membernya sulit tergantikan. Misalnya saja, Yoona atau Yuri keluar dari SNSD, pasti akan ada reaksi hebat dari para penggemar. Para penggemar grup korea sudah ter-mindset bahwa melihat SNSD haruslah lengkap dengan sembilan anggota itu. Taeyeon-Yuri-Jessica-Tiffany-Soo Young-Sunny-Hyoyeon-Yoona-Seo Hyun. Tidak boleh kurang. Misalnya, ketika mereka konser di Tokyo beberapa waktu yang lalu, dan saat itu Soo young tidak hadir, karena sebelumnya kecelakaan, terasa ada yang ganjil dalam penampilan mereka. Ya ganjil, karena Soo Young tidak ada.

Hal serupa tak akan pernah kita temui di AKB48. Walau hanya sebagian member yang tampil, entah yang populer ataupun tidak, mereka tetap AKB48. Tak ada yang terasa kurang. Dengan sistem seperti ini, Yasushi Akimoto dapat mengambil job acara dalam waktu yang bersamaan sekaligus. Mungkin saja tim A live di satu stasiun TV, tim K konser di suatu kota, dan tim B live teater. Belum lagi dari sister grup lain.

Teater

Nggak bisa dipungkiri lagi, teater adalah salah satu brand unik yang dimiliki oleh AKB48. Teater adalah tempat rutin biasa menyajikan pertunjukan yang ditonton secara terbatas. Susunan lagu yang dinyanyikan, biasa disebut dengan set list. Set list yang sama akan di mainkan secara terus menerus sampai suatu hari digantikan oleh set list lain.

Apakah ini tidak beresiko membuat fans bosan?

Tidak. Sama sekali tidak.

Tanyakan pada penggemar AKB48 atau JKT48 yang sedang menonton teater, tentang berapa kali mereka menonton. Rata-rata dari mereka pasti menjawab kalau ini bukan kali pertama. Bahkan saya pernah menonton di TV seorng fans di wawancarai kaytanya pernah nonton teater 40an kali dengan set list yang sama. Gila bener.

Teater bagi saya adalah cara cerdas Yasushi Akimoto dalam memerangi pembajakan. Iya, mereka memang sudah mengeluarkan album, dan album itu sudah banyak dibajak (btw, saya juga nyimpen copiannya, hehe). Kalau mereka berkonsep seperti grup lain, SNSD misalnya, fans hanya akan berhenti saat mendapat CD mereka (entah asli atau tidak) dan cukup puas hanya dengan mendengarkan CD itu tiap hari.

Tapi Yasushi Akimoto memberikan pilihan lain: Teater, setiap hari lagi. Nggak akan ada player musik di rumah yang dapat mengalahkan rasanya pengalaman nonton teater secara live. Apalagi dengan rutinitas unik mereka, handshake (eh apasih namanya? Yang salaman-salaman abis teater itu?). Kali ini, Konsep ‘idola yang dapat kau temui setiap hari’ milik Yasushi Akimoto, memang terbukti jenius.

Merchandise

Ah, saya nggak bisa banyak komentar apa-apa lagi kalau soal yang satu ini. JKT48 mungkin adalah grup dengan penjualan merchandise ASLI terbaik di Indonesia saat ini. Hampir semua barang yang mereka jual habis dibeli para fans.

Mulai dari poster, kaos, gantungan kunci, sampai yang menurut saya paling absurd: photopack. Bagi yang belum tahu apa itu photopack, itu adalah semacam kartu dengan gambar para member. Dan yang menarik, photopack hanya dijual terbatas dan terbit setiap jangka waktu tertentu. Hal inilah yang membuatnya menjadi collectable item yang berharga. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, dia kan cuma kertas yang di print poto -____-

Konsep Visual

Menurut saya, inilah salah satu kejeniusan terbaik Yasushi Akimoto. Yaitu tentang bagaimana dia membuat konsep visual untuk JKT48 (dan sister grup lainnya). Tidak seperti grup lain yang beranggotakan gadis bertubuh tinggi, seperti model, dan selalu berpenampilan modis dengan wardrobe yang mahal, JKT48 justru tampil sebagaimana layaknya anak-anak sekolah yang lagi manis-manisnya. Dan tentu saja, sulit bagi seorang cowok untuk tidak menyukai grup dengan konsep ini.

Selain itu, konsep unik tadi juga cukup sempurna untuk menutupi salah satu kekurangan yang saya pikir ada dalam JKT48: lirik lagunya amburadul. Lirik lagu mereka ini ibarat lirik AKB48 dalam Bahasa Jepang yang di translate pake google translate. Bener-bener nggak rapi. Saya berani bertaruh, para fans pasti akan mencemooh lagu-lagu ini kalau saja yang membawakan bukan JKT48.

Tapi tenang saja, Tuhan memang pandai dalam membolak-balikkan hati umatnya. Kalau kita sudah menyukai penampilannya, cepat atau lambat kita pasti suka dengan lagunya. Omong kosong lah kalau ada orang yang bilang kalau dia ngefans JKT48 karena lagunya, bukan orangnya.

Kita semua suka melihat penampilan mereka. JKT48, adalah hiburan visual, bukan audio.

Eh, tapi ngomong-ngomong, Jeje cakep banget ya :))

Hal-hal yang Lagi Ada di Pikiran Saya Akhir-akhir Ini (2)

(…sambungan dari postingan kemarin)

Nulis

Saya nggak tahu ini hobi atau bukan. Tapi kenyataanya, saya memang nggak pernah punya hobi khusus yang spesifik. Saya memang suka melakukan apa yang yang sedang ingin saya lakukan. Menulis, melukis, design grafis, ngedit video, main musik, bahkan stand up comedy pernah saya coba. Walaupun saya cukup baik dalam melakukan semua hal tadi, sayangnya saya nggak pernah berniat untuk serius ke satu bidang. Sederhana, karena saya orangnya gampang bosan.

Sisi positifnya: saya bisa melakukan banyak hal yang saya mau, bahkan ada satu teman saya yang bilang kalau saya ini multi talented (hehe, makasih ya.)

Sisi negatifnya: saya jadi orang bermental medioker.

Termasuk menulis.

Tahun ini sih sebenarnya saya punya resolusi untuk merampungkan satu naskah buku komedi. Entah diterbitkan atau tidak, pokoknya yang penting selesai. Sebenarnya itu resolusi tahun kemarin sih, tapi berhubung nggak kecapai makanya saya pakai buat resolusi tahun ini, hehe.

Bukunya sendiri, sebenarnya secara garis besar sudah selesai. Idenya sudah lengkap, bahkan kerangka tiap bab sudah saya susun dengan jelas. Nah masalahnya, waktu mau mengembangkan kerangka itulah yang bikin saya sering stuck.

Satu kelemahan saya soal menulis adalah saya sangat susah kalau disuruh menulis story-telling. Menceritakan pengalaman atau suatu kejadian sangatlah sulit bagi saya. Setiap menulis tulisan jenis itu, nggak jarang saya hanya menghabiskan waktu berjam-jam memandang layar MS Word yang kosong di laptop.

Berbeda saat saya menulis tulisan yang bentuknya esay, di mana saya bisa mengeksekusi ide yang ada di kepala saya. Apalagi yang asal susun dan nggak ber-value seperti postingan ini. Lagi nulis sebentar tahu-tahu udah banyak aja. Jadi karena sebab itu ya, saya mau bikin konsep bukunya lebih ke komedi observasi saja. Kayaknya saya lebih cocok ke sana.

Yah, semoga saja.

Bahasa Inggris

Ada perasaan menyesal setiap kali melihat teman seusia fasih berbahasa inggris. Perasaan menyesal itu adalah tentang target yang saya pasang dahulu waktu belajar di sekolah.

Saya dulu hanya pasang target yang penting lulus saja, bukan menjadi mahir. Target serendah itu membuat saya hanya belajar kalau perlu-perlu banget saja. Dan akhirnya memang iya, saya sering dapat nilai bagus, 80an keatas lah, tapi bahasa inggris saya sekarang masih kacau seperti ini.

Sebenarnya saya punya banyak fasilitas kalau mau serius. Ayah saya guru bahasa inggris, adik saya kuliah juga di jurusan bahasa inggris. Seharusnya saya bisa memanfaatkan mereka untuk melatih kemampuan saya. Adik saya saja kalau menulis tugas berlembar-lembar bahasa inggris sekarang sudah lancarnya bukan main.

Jadi rencananya, liburan nanti saya mau menulis esay satu halaman tiap hari, dan saya minta adik saya yang mengoreksi. Yah, biar kalau sudah masuk, kemampuan bahasa inggris saya sudah ada sedikit peningkatan gitu.

Kuliah

Dulu saya selalu benci dengan orang yang menyepelekan pendidikan. Yang formal, maksud saya. Siswa SMA yang sering bolos, mahasiswa yang lebih suka ngurus organisasi daripada kuliah, dsb. Saya dulu menganggap bahwa belajar secara formal adalah satu-satunya prioritas yang harus selalu kita dahulukan.

Tapi akhir-akhir ini saya sering berpikiran lain. Apalagi setelah saya membaca beberapa buku yang mengubah pandangan saya (Rich Dad Poor Dad Series-nya Robert T. Kiyosaki, dan Lichpin-nya Seth Godin.)

Rich Dad Poor Dad sendiri saya punya dua serinya, Rich Dad Poor Dad dan Cashflow Quadrant. Selesai membaca buku itu, saya menjadi sadar bahwa apa yang saya yakini selama ini ternyata sama dengan apa yang diyakini oleh Poor Dad dalam buku itu. Selama ini saya membayangkan hidup saya akan seperti ini: Belajar yang rajin – dapat nilai bagus – lulus dengan nilai bagus – dapat pekerjaan yang bagus –mendapat uang banyak- hidup bahagia.

Tapi setelah membaca buku ini, saya sadar bahwa sistem di dunia telah berubah. Setelah ini, saya akan berusaha lagi untuk menyusun mimpi yang baru, yang berbeda.

Lalu sedikit tentang buku linchpin, saya sangat menyukai buku ini sejak awal saya membelinya. Banyak hal yang saya sadari (yang dulunya tidak) setelah selesai membaca buku ini. Linchpin, dalam pengertian di dalam buku ini, adalah orang-orang yang sangat langka: sangat sulit atau bahkan tidak bisa digantikan orang lain (indispensable).

Karena terlalu panjang, mungkin saya akan mereview kedua buku ini dalam postingan yang akan datang di lain waktu saja.

Semakin saya dewasa, saya semakin menemukan fakta bahwa apa yang kita pelajari di bangku pendidikan formal ternyata nggak semua kepakai. Makanya sekarang saya agak males kalau melihat mahasiswa yang ngejar nilai-nya masih kayak anak SMA. Nggak jelas kenapa sih, males aja ngelihatnya, hehe.

Saya juga kurang setuju dengan pendapat umum orang-orang soal belajar. Fokus. Saya biasanya suka kata ini, tapi kali ini tidak. Fokus belajar dalam artian belajar harus sesuai dengan program studi yang kita ambil. Seolah-olah hanya anak Teknik mesin saja yang boleh belajar benerin motor, hanya anak ekonomi saja yang boleh belajar investasi, dan hanya anak sastra saja yang boleh belajar menulis dengan baik.

Saya nggak suka itu.

Makanya sekarang saya membiasakan diri buat banyak-banyak membaca agar pengetahuan saya bertambah. Bukan tentang teknik mesin saja. Jujur, saya nggak suka kalau saya harus menjadi seorang pelajar yang militan, yang mati-matian cinta jurusan atau program studinya dan menutup mata dengan disiplin ilmu lain.

(selesai)

Hal-hal yang Lagi Ada di Pikiran Saya Akhir-akhir Ini (1)

Malas

Teman-teman dekat saya pasti sudah sangat hafal sifat saya yang satu ini. Saat ini saya sedang kuliah di semester 6, dan semester ini adalah semester di mana saya melakukan kemalasan paling parah sepanjang pengalaman akademik saya.

Tapi satu hal, bahwa sifat malas tidak serta merta saya gabungkan dengan sifat tak peduli. Walaupun saya malas, tapi saya masih berusaha tanggung jawab atas konsekuensinya. Saya adalah tipe orang yang tidak bisa tidur nyenyak kalau tugas belum selesai. Saya adalah tipe orang, yang selalu kepikiran saat sedang memiliki satu masalah.

“I will always choose a lazy person to do a difficult job. Because he will find an easy way to do it.” Bill Gates.

Atau dalam kata lain, saya malas tapi dengan perhitungan.

Contohnya, semester ini saya punya dua mata kuliah yang jamnya bareng. Pada awal semester, semua mahasiswa yang punya jadwal bareng seperti itu harus mengurus ulang jadwalnya di pengajaran. Tapi saya tidak. Saya memilih untuk memprioritaskan satu mata kuliah, dan yang satunya lagi saya tinggalkan. Saya melakukannya dengan beberapa pertimbangan seperti, dosennya yang nggak pernah ngecek absensi, nilai yang keluar biasanya ‘gaib’ (kamu tahu, yang misalnya anak rajin dapat C, trus tukang bolos dapat A) dan pelajarannya yang kelewat susah. Saya pernah melakukan ini semester lalu, dan IP saya tetap 3. Gambling saya ternyata berhasil. Sekali lagi, malas tapi dengan perhitungan.

Saya ingat waktu masih di SD, saya sering memilih tempat duduk di dekat jendela hanya supaya bisa melamun, melihat ke luar kelas saat pelajaran masih berlangsung. Saya sering membayangkan hal-hal yang lebih menyenangkan untuk saya lakukan kalau saja saya tidak sedang berada di kelas saat itu.

Tapi untung saja, walaupun saya malas, saya nggak pernah ketinggalan pelajaran. Yah, pernah sih ketinggalan sedikit, tapi tidak pernah sampai benar-benar fatal. Misalnya saja saya sering nggak ngerti kenapa banyak orang yang bilang kalau fisika itu rumit. Memang, saya samasekali bukan murid yang rajin, saya hanya belajar saat mau ujian, tapi itu tidak pernah mengganggu saya. Fisika bagi saya masih biasa-biasa saja, kok.

Satu hal yang menjadi hipotesis saya: Pola pikir. Saya malas, dan saya suka menyepelekan pelajaran. Tidak seperti orang lain yang sudah punya pikiran bahwa fisika itu susah. Menyepelekan dalam artian saya nggak pernah menganggap satu pelajaran itu sulit. Jujur, saya sering menyepelekan banyak hal, karena hal itu membuat saya merasa lebih percaya diri.

Dan sekarang, inilah saya. Dulu seorang pelajar SMA malas, sekarang menjadi mahasiswa Teknik mesin, (yang setiap hari kuliahnya hanya fisika dan matematika). Walaupun saya malas, tapi anehnya dulu saya nggak pernah berpikir untuk memilih kuliah ke program studi yang lebih ‘santai.’ Saya hanya let it flow.

Malas dengan perhitungan. Ah, kayaknya itu bisa-bisanya saya ngeles aja.

Tidak harus menjadi benar

Saya sering nggak paham dengan bagaimana cara kebanyakan orang menghadapi masalah. Saat pertama kali masalah muncul, kebanyakan dari kita akan bertanya, “Salah siapa ini?”

Seolah-olah dengan mengetahui siapa yang paling bersalah, akan membuat keadaan bertambah baik. Kemudian kalau tidak ada yang bisa menemukan siapa yang paling bersalah, mereka akan beradu argumen untuk menjadi yang paling benar, atau paling tidak, menjadi orang yang kesalahannya paling sedikit.

Saya pertama kali menyadari hal ini saat mengikuti rapat Himpunan Mahasiswa di kampus. Saat itu sedang dibahas LPJ sebuah acara yang terbilang kurang berhasil, dan beberapa pihak mulai saling menyalahkan.

Saya sendiri jarang berusaha untuk tampil paling benar di depan orang-orang, karena saya tahu hal itu tidak begitu bermanfaat.

Sedikit kutipan dari John Naisbitt dalam bukunya Mind Set, dalam bab 4 “Memahami betapa menguntungkannya bila Anda tidak harus selalu benar”:

Keharusan menjadi benar menghalangi pikiran Anda

Orang secara budaya dikondisikan untuk benar. Orang tua selalu benar. Guru selalu benar. Bos selalu benar. Siapa yang benar menentukan apa yang benar. Suami-istri bertengkar soal masalah-masalah yang intinya justru terlupakan akibat keduanya berebut menjadi pihak yang benar.

Partai-partai politik berpendirian harus benar. Seberapa sering sebuah partai politik menerima sikap pihak lain? Bayangkan jika semua energi yang dicurahkan untuk membuktikan pihak lain yang salah- dan kita benar- disalurkan untuk memikirkan apa yang terbaik bagi apapun. Yang lebih parah lagi, keharusan menjadi benar  merupakan sebuah rintangan dalam pembelajaran dan pemahaman, Keharusan menjadi benar menghambat pertumbuhan Anda, karena pertumbuhan tidak akan terjadi tanpa mengubah, mengoreksi, dan mempertanyakan diri sendiri.

Jika Anda harus benar, Anda menempatkan diri sendiri dalam sebuah benteng tertutup. Tapi begitu Anda merasakan hebatnya tidak harus benar, Anda akan merasa seperti berjalan melintasi sebuah padang terbuka, di mana cakrawala terbentang luas dan kaki Anda bebas melangkah ke mana saja.

Jatuh cinta

Suatu hari seorang teman berniat mengenalkan saya kepada seorang cewek. Saya lihat potonya (yah, walau bagaimanapun saya harus selektif kan ya, hehe) ternyata cantik juga.

Saya bilang ke dia, “Ntar deh, aku pikir-pikir dulu.”

Teman saya lalu bilang, “Yaelah, kan cuma kenalan pake mikir-mikir, sok kecakepan lo. Kalau bisa dapet kan lo untung juga.”

Mungkin teman saya benar, saya sok kecakepan (terlalu selektif mungkin yang dia maksud). Saya juga pernah memikirkan ini.

Kadang-kadang saya nggak ngerti dengan bagaimana cara teman-teman di sekitar saya membangun hubungan. Ada cewek cakep, ya diajak kenalan. Kalau bisa jadi ya sukur, kalau nggak yaudah. Simple.

Menurut saya, kebanyakan dari teman-teman saya yang membangun hubungan dengan cara seperti itu sebenarnya lebih menyukai ‘konsep pacarannya,’ bukan ‘’orang yang dia ajak pacaran.” You know, kadang-kadang memang ada orang yang lebih suka dengan konsep pacaran itu melebihi dengan orang yang dia ajak pacaran.

Pacaran memberikan mereka rutinitas yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang nggak punya pacar. Seperti misalnya sms selamat pagi, ngingetin udah makan belum, gandengan tangan, bahkan ciuman. Mereka lebih suka dengan rutinitas-rutinitas seperti itu. Nggak penting orangnya gimana. Memang kalau dilihat sekilas, mereka terlihat saling sayang. Di twitter misalnya, jumlah mention-mention mesra mungkin udah nggak kehitung jumlahnya.

Tapi yang jelas kelihatan beda adalah saat hubungan mereka suatu hari harus berakhir. Kelihatannya gampang banget buat mereka move on dan mencari seseorang yang baru. Seolah-olah mereka gampang banget buat jatuh cinta.

Saya sering mikir, kalau mereka itu jatuh cintanya sedalem apa ya? Kok bisa-bisanya secepat itu ganti perasaan.

Berbeda dengan saya. Saya pernah beberapa kali jatuh cinta, ada yang berbalas, ada yang tidak. Saya nggak pernah terbebani kalau ada seseorang memanggil saya ‘jomblo.’ Saya nggak pernah terbebani kalau banyak dari teman saya ganti-ganti pacar dan saya masih juga sendiri. Saya punya definisi sendiri untuk jatuh cinta: kalau saatnya udah tepat, pasti ada orang yang tepat.

Saya memilih untuk jalan seperti ini karena saya orangnya suka over dan terlalu sensitif. Misal kalau udah galau, saya butuh berbulan-bulan atau mungkin tahun untuk recover. Dan itu menyakiti saya. Nah, untuk mengantisipasi hal itu, akhirnya saya memilih hanya jatuh cinta kalau sudah benar-benar ngerasa yakin.

Well, dan ternyata banyak hal yang nggak sesuai harapan. Saya pernah merasa yakin dengan seseorang dan ternyata it’s not working. Ternyata kita nggak cocok. Saya orangnya susah buat jatuh cinta, tapi sekalinya iya, saya sering terlalu dalem buat ngerasainnya.

Setelah itu, saya sering ngerasa bodoh dengan pemikiran saya ini. Kayaknya, saya harus meredefinisi lagi arti cinta dalam perspektif pribadi saya.

Mudah Akrab

Satu hal yang saya sukai dari diri saya, saya mudah akrab dengan orang. Ibu-ibu warung, mbak-mbak laudry, tukang parkir warung padang, tukang fotokopi, pemilik kios jus, semua mudah saya akrabi. Bahkan saking akrabnya, saat saya mau Kerja Praktek, Mbak yang punya laudry di dekat kos saya bilang saat ketemu saya, “Mas Vava ati-ati di jalan, ya.”

“…” *hening

Atau ketika masuk warung burjo. Saya paling suka makan indomie soto dengan telur dobel, dan minum es marimas rasa cincau. Aa’ burjo di sana setiap kali melihat saya datang pasti langsung tanya, “Indomie telur dobel sama marimas cincau, Va?”

Saya pasti jawab, “Yoi Coy.”

For your information, saya hanya memanggil orang dengan ‘coy’ kalau orang itu sudah akrab saja.

Sepele memang. Tapi saya rasa, seramah apapun SOP di restoran mewah yang kamu datangi, nggak ada yang bisa mengalahkan rasanya keakraban sederhana saat pelayan warung kecil menyapa dengan menyebutkan nama kita, dan hafal apa makanan favorit kita.

Aduh… kepanjangan kayaknya, besok nyambung lagi deh. Udah malem.

(500) days of summer

Sepertinya saya nggak pernah bisa berhenti buat membahas film yang satu ini. (500) days of summer adalah film favorit saya sejauh ini. Terlalu banyak aspek positif yang saya sukai dari film ini, mulai dari chemistry tokoh utamanya yang baik, script-nya yang kelewat jenius, plot-nya yang unik (yang nggak pernah saya duga saat pertama kali nonton) dan banyak lagi. Banyak sekali hal yang membuat saya rela menonton film ini berulang kali.

Dan nggak bisa dipungkiri, Zooey Deschanel adalah salah satu alasan terkuat saya mati-matian menyukai film ini. Wajahnya yang tampak terlalu muda untuk usianya, aktingnya yang luar biasa, dan matanya, yang saya kira pasti bisa membuat semua laki-laki jatuh cinta saat melihatnya.

Summer Finn, tokoh yang diperankan Deschanel, adalah tokoh favorit saya. Bukan karena sifat menyebalkannya di film ini, tapi lebih karena karakternya yang terasa benar-benar nyata. Karakternya memang tidak sehebat dan seunik karakter dalam film komedi romantis lain, (tokoh cewek dalam My Sassy Girl, misalnya) tapi justru karena hal inilah, karakter ini terasa lebih nyata dalam keunikannya. Menonton film ini membuat saya sering membayangkan apabila saya berada di posisi Tom Hansen dan terlibat Hubungan Tanpa Status (HTS) atau TTM, atau apalah orang sekarang menyebutnya, dengan wanita seperti Summer Finn. Satu hal yang pasti terjadi: saya akan galau abissss.

Summer Finn adalah tipe wanita yang mudah disukai. Dan orang seperti saya pasti nggak akan butuh waktu yang lama untuk jatuh cinta dengannya. Lalu masalahnya, seperti juga masalah utama yang diangkat dalam film ini: bagaimana situasinya kalau kamu jatuh cinta pada seorang gadis yang bahkan tak percaya bahwa cinta itu ada?

Menarik.

Saya sudah menunjukkan film ini ke beberapa orang teman, dan tanggapan mereka rata-rata, “Biasa, drama percintaan biasa,” atau “Summer-nya jahat.”

Well, saya nggak bilang kalau selera teman-teman saya jelek, selera itu relatif. Cuma saya yakin, mereka berkata seperti itu karena mereka mengharapkan film ini happy ending dengan cara yang sudah mereka prediksi: Tom dan Summer tetap bersama.

Tapi justru ending yang nggak sesuai ekspektasi inilah yang saya sukai. Seakan menampar saya dan memberitahu, bahwa banyak keinginan yang tidak seharusnya dipenuhi. Hidup tidak selalu harus sesuai dengan apa yang kita mau. Dan bahwa happy ending, bisa saja terjadi dengan cara yang tak pernah kita duga sebelumnya.

Self-Righteous Thought

Salah satu hal aneh yang ada dalam diriku adalah kecenderungan untuk menyukai hal-hal yang tidak disukai oleh orang kebanyakan. Bukan dalam artian yang negatif, tentu saja. Mengoleksi film-film 70 dan 80an yang penuh drama dan filosofi, dimana orang lain yang seusia lebih menyukai special effect daripada filosofinya (you know, Transformer, Avatar, The Avengers.) Susah-susah berburu lagu band-band indie yang bahkan namanya saja sulit ditemukan google, padahal banyak lagu enak yang lebih gampang dicari. Dan membaca buku Bram Stoker dan Mary Shelley, lalu membuat orang bingung kenapa aku mau membaca horror lama itu, bukankah sekarang sudah ada Harry Potter dan Twilight Saga?

Continue reading