Dietje

Kamu hanya hidup sekali. Nikmatilah! Hidup ini indah.

Seorang sahabat menasihati. Barangkali dia benar. Hidup memang indah. Ada banyak hal di depan mata yang menunggu untuk kita nikmati. Ada banyak tempat yang harus kita kunjungi. Ada banyak pengalaman yang harus kita rasakan.

Tapi, sebelum aku menyepakati argumen dia, biarkan aku berkelakar sebentar.

Aku takut mati. Ada banyak hal yang menyebabkan manusia mati setiap harinya. Penyakit, kecelakaan, usia yang sudah tua, pembunuhan. Penjelasan yang selalu dapat kita terima dengan pertanyaan ‘Kenapa dia meninggal?’ kapanpun pertanyaan itu ditanyakan adalah, ‘Karena memang sudah saatnya.’

Namun, manusia adalah makhluk yang destruktif. Seringkali, merekalah yang menjadi penyebab kematian kaum mereka sendiri. Yang membuat kita merasa ‘Ini perbuatan orang, belum saatnya dia mati’. Lagipula, hidup juga tidak serupa kisah dalam film detektif. Di mana kejahatan serumit apapun, di akhir nanti pasti kebenaran akan menang, dan pelakunya tertangkap.

Kita setiap hari barangkali dapat mendengar berita tentang pembunuhan di tivi. Mendengarkannya sembari santap siang, lalu kemudian kembali bekerja ketika jam istirahat usai. Seolah berita itu hanya sebuah nyanyian monoton di iPod yang sudah lama tidak di-update playlist-nya. Berita-berita itu telah kehilangan kesannya.

Penjelasannya mudah. Kita terbiasa untuk apatis terhadap kematian. Selama kematian itu menimpa orang-orang yang jauh dari kita, atau minimal tidak kita kenal, maka begitulah cara dunia bekerja. Kematian selalu kita letakkan di belakang kepala, selalu kita hindarkan dari antrian ‘apa yang selanjutnya harus saya pikirkan.’ Satu hal yang bagaimanapun cara kita untuk hindari, tapi akan selalu setia di ujung sana, menunggu gilirannya untuk keluar dan menagih perhatian.

Kenyataan tidak mengijinkan kita untuk duduk manis di kursi, menjadi penonton, menunggu takdir memberikan jawaban siapa pelakunya. Kejahatan di dunia nyata, seringkali tidak pernah terungkap. Menyisakan satu pertanyaan yang berkepanjangan. Pertanyaan yang pada fase selanjutnya akan bercampur dengan rasa ngeri.

Lalu, ketika nalar kita susah untuk menemukan jawaban sebenarnya, kita mulai mengarang. Meyakini bahwa ada konspirasi besar, ada kelompok di balik layar yang punya kekuasaan, mengatur semua yang terjadi. Kita mulai menyalahkan dengan prasangka. Tanpa bukti. Kita saling mencurigai.

Ketika kita mulai masuk ke tahap itu, masihkah hidup terasa indah untukmu?

1986. Seorang peragawati terkenal meninggal karena ditembak berkali-kali. Namanya Dietje Budimulyono. Mayatnya ditemukan di dalam mobil di sebuah kebun karet di Bilangan Kalibata. Pembunuhan itu menjadi semakin terkenal. Polisi lalu menangkap seorang yang diketahui dekat dengan korban –hanya dikenal dengan panggilan Pakdhe- dan diganjar hukuman 20 tahun penjara.

Menurut desas-desus, ada hal lain yang disembunyikan dalam kasus ini. Peragawati itu dikabarkan dekat dengan menantu orang nomor satu di negeri ini kala itu. Dan sebagaimana drama perselingkuhan pada umumnya, keluarga besar akhirnya sangat marah ketika mengetahui. Mereka memutuskan untuk memberi sedikit pelajaran kepada sang Peragawati.

Namun siapa sangka, kisah percintaan bisa menjadi begitu berbahaya. Apalagi jika keluarga yang turut engkau campuri, memiliki kekuasaan yang begitu besar.

Hingga kemudian, hari itu tiba. Sang Peragawati ditemukan tak bernyawa di kebun karet, dan Pakdhe –entah sebenarnya bersalah atau tidak- ditangkap.

Kau lihat? Di dunia ini, ada orang yang meninggal di tangan orang lain. Tanpa kita ketahui apa sebabnya. Tanpa kita tahu siapa pelakunya.

Masihkah kau berpikir dunia ini indah?

Barangkali semua akan lebih baik, jika pelaku sebenarnya terungkap, dan tidak ada orang yang dihukum untuk kejahatan yang tidak pernah mereka perbuat. Barangkali semua akan lebih baik, jika orang yang kita percaya untuk menjadi pemimpin, menjadi yang berada di barisan terdepan untuk mencari kebenaran, dan bukannya menggunakan kekuasaannya untuk menghilangkan nyawa secara misterius. Barangkali semua akan lebih baik, jika aku tetap sepertimu. Tetap tidak tahu.

Sekali lagi, aku takut mati. Aku takut terlupa. Aku takut bertahun-tahun kemudian berharap akan adanya seseorang yang membuat catatan tentang diriku, hanya agar diriku sejenak kembali diingat.

Hidup tidak indah.

Bagiku, hidup yang indah adalah hidup yang menutup mata. Karena semakin engkau pelupa dan tidak tahu, maka semakin nyenyak tidurmu malam nanti.

Maafkan, aku.

Leave a comment